Generalis or Spesialis? RANGE

06.15



Hal pertama yang membuat aku tertarik mengambil buku ini di Gramedia adalah kutipan pada covernya, “mengapa menguasai beragam bidang bisa membuat kita unggul di dunia yang mengedepankan kekhususan bidang.” 

Ini resemble banget sama cara mama dan abah ngedidik aku. Disamping dari les pelajaran akademik, sedari kecil aku diikutkan untuk les ini, itu, mulai dari les tari tradisional, tari modern, teater, piano, menjahit, bahasa inggris, sempoa, menghitung cepat dengan jari, jrp, ski, and all you can name it. Berkali-kali abah menanamkan dipikiran aku dan saudara-saudaraku “kalau mau survive di dunia ini, kalian harus menguasai banyak ketrampilan.” 

Hal itu yang membuat aku langsung membeli buku ini, aku ingin mencari jawaban yang secara teoritis atas pertanyaan mengapa mama dan abah mendidik aku dengan cara seperti itu.  

Inti konsep dari buku ini adalah membandingkan antara seorang spesialist dan generalist. Apakah seorang yang jalannya lurus sesuai bidangnya, yang kalau curriculum vitaenya tu yah, mulai dari pendidikan, organisasi, pengalaman kerjaanya, prestasinya, kegiatan volunteernya itu sesuai dengan bidang yang dia tekuni. Atau justru orang yang pekerjaannya itu tidak koheren, tidak sesuai. Kuliah ini, kerjanya itu. Kuliah teknik, kerjanya di bank, jadi relawan di PMI, terus pindah-pindah lagi kerjanya? Apakah justru itu yang lebih baik? 

Buku ini diawali dengan kisah Tiger Woods versus Roger Federer, keduanya adalah bintang olahraga, yang sangat kontras sekali perbedaannya. 

Tiger Woods dilatih sejak dini oleh orangtuanya. Di usia 2 tahun, saat normalnya anak memiliki kemampuan menendang bola & berjinjit, Tiger Woods sudah tampil di televisi nasional memukul bola dengan tongkat golf didepan Bob Hope yang terkagum-kagum. Di usia belia, dia sudah memenangkan banyak turnamen golf. Tiger Woods ini adalah anak yang Malcolm Gladwell banget, dia dibesarkan secara khusus menggunakan aturan 10,000 jam. Siapa yang memulai lebih dini, dan banyak berlatih, dia lah yang akan sukses. 

Meanwhile, seorang Roger Federer tidak pernah secara spesifik dilatih bidang olahraga tertentu. Dia mencoba semuanya, mencoba ski, gulat, renang, papan luncur, basket, bola tangan, tenis, bulu tangkis, sepak bola. Namun ketika suatu saat dia berhenti olahraga lain dan berfokus pada tenis, dia menjadi pemain nomor satu di dunia. Dia menyadari bahwa banyaknya olahraga yang ia pelajari itulah yang berkontribusi paling besar dalam kemampuan atletiknya serta face and eye coordination saat bermain tenis. 

Ini adalah sebuah fenomena yang sangat menarik. 

Dalam buku ini, terdapat sebuah grafik yang menggambarkan bahwa atlet yang akhirnya menjadi elite ternyata menghabiskan lebih sedikit waktu saat kanak-kanak untuk latihan spesifik pada bidang olahraga tertentu.


Mereka lebih banyak mengexplore terlebih dahulu berbagai macam olahraga. 

Disaat kemudian dia sudah menemukan olahraga yang akan ditekuni, perkembangan mereka justru lebih pesat dan lebih lama bertahan sebagai atlet elite dibandingkan yang sudah dipacu semenjak dini. 

Ini sama halnya dengan cara abah dan mama mendidik aku. Mereka memaparkan semua les yang ada di kota ku untuk aku pelajari. Dan alhamdulillah saat kecil aku merasa kegiatan itu sangat menyenangkan, Dan kemudian pada suatu titik ketika aku menyadari bahwa ternyata aku memang sukanya pada bidang akademik khususnya sains yang sesuai dengan cita-citaku semenjak kecil. Its very good. Les-lesku tetap berjalan dan aku juga berfokus pada cita-citaku yaitu dokter. 

Ini juga penting dalam masalah pencarian bakat. Bagaimana coba caranya mengetahui bakat kita kalau tidak pernah dipaparkan terhadap bidang tersebut? how do you expect anakmu berbakat piano kalau tidak pernah dileskan piano atau tidak ada piano sama sekali di rumah? 

Kita tidak pernah mengetahui apa yang bisa kita lakukan sampai kita mencoba. Because mencoba adalah jawaban untuk menemukan bakat kita. 

Kisah kedua, pasangan pasutri Laslo dan Klara memiliki anak-anak yang mereka persiapkan untuk menjadi pemain catur professional. Terbukti ketika anaknya berusia 4 tahun, dia memenangkan kompetisi catur melawan orang dewasa. Dua dari anaknya mencapai gelar grandmaster di usia 15 tahun & 22 tahun. 

Sebuah prestasi sekali, hebat banget. 

Nyatanya, pemain catur hebat itu tidak seperti yang digambarkan oleh series Netflix berjudul The Queen’s Gambit, mereka tidak memilii ingatan fotografik. They tend to mengelompokkan sesuai dengan pola yang sudah dikenalnya. Terbukti bahwa jika papan catur tersebut diatur dengan bidak-bidak yang tidak akan pernah terjadi diatas papan catur, mereka tidak dapat mengingatnya lebih baik dibanding seorang pemain catur amatiran. 

The concept goes like this, coba ingat sebanyak mungkin dari 20 kata yang aku sebutkan ini: 

“Karena kelompok dua puluh pola-pola bermakna yang kata akan lebih mudah ke dalam mengelompokkan diingat yang sudah Anda kenal kalimat bisa Anda untuk di dalam” 

gimana? 

oke, sekarang coba ingat lagi kata yang ini: 

“Dua puluh kata akan lebih mudah untuk diingat di dalam kalimat yang bermakna karena Anda bisa mengelompokkan pola-pola yang sudah Anda kenal ke dalam kelompok” 

Which one is easier?

Inilah yang dikatakan seorang psikolog bernama Daniel Kahneman bahwa pengalaman itu seringkali menimbulkan kepercayaan diri, tetapi tidak menimbulkan ketrampilan. Kita bisa bilang bahwa contoh catur atau golf karna pola permainan tersebut berulang, maka aturannya semakin kita banyak berlatih semakin kita ahli dalam permainanannya. Namun pada banyak bidang, yang melibatkan interaksi manusia dimana pola tidak berulang secara jelas seperti permainan catur atau golf, pengulangan itu tidak menimbulkan pembelajaran. Kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang baru terus menerus. 

Pengkhususan bidang, kalau boleh dibilang itu dimulai pada saat kita memasuki universitas. Nih emang nih universitas bikin masalah. Yang awalnya kita belajar secara general, mulai dari SD sampai SMA belajar matematika, pengetahuan alam, pengetahuan sosial, bahasa indonesia, inggris, kewarganegaraan, agama, yang dimana hal itu secara tidak langsung membentuk pola pikir kita dengan baik, kemudian dikotak-kotakan ketika kita memasuki dunia kampus. 

Sebagai contoh: Aku merasa banget, waktu tahun-tahun pertama di kedokteran, itu aku merasa stuck. Yang awalnya di SMA pas aksel belajar banyak banget, terus tiba-tiba tek! Belajar kedokteran doang. 

Pada satu sisi, belajar kedokteran itu emang menggunakan konsep generalist. Kita dituntut belajar semua penyakit dari ujung kepala sampai kaki untuk mendapat gelar sebagai dokter umum. Lalu kemudian baru boleh melanjutkan sekolah untuk menjadi seorang spesialis yang berfokus dalam satu bidang, sehingga sistem yang ada itu membuat seorang dokter ketika sudah menjadi spesialis dapat memiliki pola pikir yang general bukan hanya  terfokus pada spesialisasi kita. 

Namun di sisi lain, sangat jujur saya katakan, belajar kedokteran itu kita tertutup pada bidang lain. Bener-bener stuck banget, karna yang dipelajarin itu banyak terus tentang kedokteran aja, kalaupun ada pelajaran lain, itu hanya segelintir kecil. Yang kalau aku nih ngikutin belajar sesuai kurikulum kedokteran aja, aku gak bakal tau apa-apa selain ilmu medis. Dan tidak sedikit orang yang seperti itu. Makanya alhamdulillah jika kamu punya hobi baca buku, nonton film, diskusi sama banyak orang. It really helps a lot the way you think. 

Karna sebenarnya tidak ada tanda bahwa sebuah institusi/fakultas berusaha mengembangkan kompetensi mahasiswanya selain pada bidang tersebut. Kita diinginkan untuk menjadi expert dibidang yang kita tekuni sehingga otak kita diisi dengan hal yang terbatas terkait dengan keilmuan kita. 

Hal ini terbukti dalam sebuah penelitian yang dilakukan Flynn, dia membandingkan nilai IPK di universitas terkemuka Amerika dari fakultas kedokteran sampai bahasa inggris, terhadap kinerja mereka pada tes critical thinking. Ternyata ditemukan bahwa tidak ada korelasi antara tes pemikiran konseptual yang luas dengan IPK. Mahasiswa biologi kinerjanya buruk terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan langsung dengan biologi. Mahasiswa kimia luar biasa cerdasnya, tapi mereka mengalami kesulitan untuk menerapkan pemikiran ilmiah ke masalah yang bukan kimia. 

It doesn’t mean kalo anak IT butuh kelas sejarah seni or something like that, tapi yang kita harapkan bahwa setiap orang membutuhkan kebiasaan berpikir yang memungkinkan mereka untuk berenang dengan bebas di berbagai bidang ilmu. 

Contoh kecil adalah vaksin. Vaksin itu terkait sekali dengan ilmu medis, ilmu kedokteran. Kita berbicara tentang pembuatan vaksin, tahap2nya, efikasi vaksin, dsb. Tapi kita tidak dapat pungkiri bahwa vaksin itu terkait sekali dengan kondisi perpolitikan sebuah negara, kondisi ekonomi sebuah negara. Sehingga kita tidak dapat menutup mata terhadap hal tersebut, kembali lagi kepada tadi, kalau kita terbatas berpikir dalam ilmu medis, kita akan akan terkurung dalam sebuah kotak, yang akan dengan mudahnya dilempar2 oleh orang yang memiliki pola pikir diluar dari kotak tersebut. 

We need to think outside of the box, dunia masa kini membutuhkan pemikiran yang tidak bisa mengandalkan pengalaman yang ada. Kita banyak dihadapkan dengan hal baru. 

Meskipun intuisi kita mengatakan bahwa para pakar berspesialisasi tinggilah yang bisa menggerakan inovasi modern, tetapi sebenarnya tidak. Justru peluang itu lebih terbuka bagi orang-orang yang generalist. 

Ada sebuah contoh yang diceritakan pada buku ini. Vincent Van Gogh, kalian pasti familiar dengan namanya. Sebelum menjadi pelukis terkenal, dia bekerja pindah-pindah. Dia sempat menjadi asisten guru di sekolah asrama, mengajar bahasa prancis sampai matematika, menjadi tukang, pegawai toko buku. Ia terus berlari dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Terdengar tidak konsisten? Ya. Namun ketika dia kembali menjadi pelukis, lukisannya menjadi benda yang dari sudut budaya dan finansial adalah yang paling berharga yang pernah ada di dunia. 

Mungkin dalam buku ini lebih banyak Van Gogh ya. Tapi lebih mudah sebenarnya kalau kita deskripsikan seorang Leonardo da Vinci yang terkenal banget karna lukisannya Monalisa. Tau ga sih? Lukisannya ini luar biasa hebatnya, bukan karna sosok misterius siapa si perempuan ini. Tapi bagaimana dia mengkombinasikan science and art dalam satu lukisan ini. Dia menggunakan matematika untuk mengukur proporsi badan dan muka dengan tepat, backgroundnya dengan geografi, gambar monalisa ini persis banget dengan bagaimana mata kita berfokus, bayangannya bener-bener pas banget. Perlu digaris bawahi bahwa ini adalah lukisan abad 15. 

Jadi kalau kita gali lebih dalam, ternyata Leonardo da Vinci ini dia banyak sekali bidang yang dia pelajari. Dia itu seorang anatomist –nyaris bikin buku secanggih sobotta-, terus juga seorang technician yang menciptakan banyak peralatan, dia juga seorang pencipta alat musik, banyak banget yang dia pelajari. Segala pengetahuan yang dia pelajari itulah yang kemudian dicombined dalam satu lukisan dan menjadi lukisan yang sangat genius. 

Sehingga dapat kita katakan, bahwa yang hebat itu bukan pengkhususan bidang. Melainkan kemampuan kita untuk memadukan berbagai bidang secara luas. 

Orang-orang yang sukses di jalan ini sangat pinter mencomot-comot pengetahuan dari bidang ini, bidang itu, lalu menerapkannya secara kreatif ke bidang lain. 

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah berarti kita harus berpindah-pindah bidang/ pekerjaan untuk mendapatkan critical thinking yang baik? 

Kita tidak dapat memungkiri bahwa banyak dari kita yang bekerja tidak sesuai dengan background pendidikan yang kita tekuni. Bahkan dalam sebuah penelitian, tiga perempat lulusan perguruan tinggi Amerika melanjutkan karier yang tidak berkaitan dengan bidang studinya. 

Dan memang banyak orang-orang yang berpindah pekerjaannya, merasa tidak cocok terhadap pekerjaan ini, pindah. Merasa tidak cocok sama yang ini, pindah. 

Kalau anak jaman sekarang tuh bilangnya gampang bosenan kali ya? 

Uniknya dalam buku ini mengatakan bahwa orang-orang yang berpindah-pindah pekerjaan itu mengetahui kapan harus berhenti dan menyerah. Bertekun untuk menghadapi kesulitan itu memang suatu keunggulan kompetitif, namun tau kapan harus berhenti itu merupakan keunggulan strategis. 

Sehingga banyak contoh yang diberikan dalam buku ini gak jelas pada awalnya, kerja ini kerja itu, namun mereka tidak menyadari bahwa keilmuan dan lingkungan pekerjaan yang telah mereka lewati itu lah yang akan membawa kesuksesan nantinya. Jadi karena sudah melewati banyak hal, punya banyak ilmu dan pembelajaran, yang kemudian dia terapkan terhadap pekerjaannya. 

We can called seorang generalist as mulai dengan lambat, namun pada suatu titik dan saat tertentu mereka akan menjadi sukses melampaui batas yang kita pikirkan. 

Kita tidak juga bisa mengatakan bahwa seorang generalist lebih baik atau pun sebaliknya. Secara tidak langsung, ini adalah sebuah ekosistem yang perlu kita pelihara dengan baik. Karna disaat yang bersamaan, kita membutuhkan katak yang berfokus, sekaligus burung yang visioner. 

Kita butuh seorang expert dalam bidangnya, namun kita juga butuh orang yang berpikiran out of the box untuk membuat berbagai inovasi dan gebrakan-gebrakan baru. 

Di akhir buku ini dikatakan bahwa pada suatu titik, sampai batas tertentu kita semua akan menjadi seorang spesialis, dan tidak ada yang keliru dalam hal tersebut. Jadi masuk akal jika kita harus bergegas menuju kesana. 

Namun harus digarisbawahi bahwa jalan yang lurus untuk menjadi spesialis, akan membuat pengetahuan lain sulit tumbuh. 

Terutama sekarang, ketika semua informasi ada di genggaman kita. Kita punya semua informasi, tetapi kita tidak tau bagaimana cara memadukannya. 

Sehingga sangat penting bagi kita, orang yang berfokus dalam satu bidang, bukan untuk pindah-pindah pekerjaan, tapi untuk setiap hari selalu membaca sesuatu diluar dari bidang kita tekuni. Agar kita dapat menjadi seorang spesialis yang memiliki pemikiran generalis. Kita bisa mencomot-comot ilmu dari berbagai bidang untuk kita terapkan dalam keilmuan kita. Kita tidak acuh terhadap bidang lain, mengkotak-kotak diri sendiri, "aku nih orang kedokteran gak ngerti politik", atau "aku nih anak bahasa inggris gak ngerti masalah ekonomi". Jangan kita menjadi orang yang memiliki pola pikir seperti itu. 

Sebagai penutup, ada sebuah quotes dari Profesor Pedro Domingos yang berkata, 

“Pengetahuan adalah pedang bersisi ganda. Ia memungkinkan Anda untuk melakukan sesuatu, tetapi juga membutakan anda kepada hal lain yang bisa anda lakukan”. 

Semoga hal ini dapat membuka pikiran kita semua terhadap berbagai perspektif, dan kolom komentar saya sangat terbuka untuk yang ingin berbagai pengalaman ataupun insightnya.


Maret, 2021