I'm Home

02.01

Rumah.

Sebuah tempat bernaung dari alam luar, melindungi diri dari terpaan angin dan gigitan binatang. 

Rumah.

Tempat pulang. Tempat untuk mengistirahatkan diri setelah melalui hari yang panjang. 

Di rumah, 

Kita bisa menjadi diri kita sendiri.

Kita gak akan pernah di judge di rumah. 

Kita akan selalu diterima kembali setelah melakukan kesalahan.

Mom, Dad, my brothers.

You are home to me.

Memeluk Mama dan meletakkan kepala di pundaknya setelah melalui momen yang penuh cobaan, atau sekedar duduk bercerita ketika Abah sedang bermain komputer, mendengarkan lelucon tidak penting dari Affan dan Kak Akbar, dan mendengar suara Kak Dede dari telepon.

I trust no one in this world except you.

No one is the best supporter in this world except you.

Ok, i'm starting to cry while writing this.

Kalau ada yang tanya kepadaku, "Pernah pengen kabur dari rumah, Mel?"

Enggak, 

Justru tempat kaburku adalah rumah.

Tentang Monacco dan Teman-Temannya

03.58

Di rumahku ada kucing yang bernama Monacco, warnanya putih, pernah tersuspect mati terlindas mobil tapi ternyata bukan dia, tampilannya bukan seperti kucing terawat.

Kalo dibilang Monacco hewan peliharaan kami, susah juga mengatakan iya. Karna kami hanya memberi makan dan setelah itu udah, selesai. Sejak terbentuknya keluarga Aswin, tidak pernah sekalipun kami memiliki hewan peliharaan yang sangat berkontak erat dengan kehidupan kami. Kalo ada orang yang dirumahnya kucing berkeliaran kesana kemari, kamu gak akan menemukannya di rumahku (kalo boneka kucing banyak).

Yang menamai kucing itu Monacco adalah kakak Dede dan Affan. Kami menyayangi Monacco tapi disaat yang bersamaan juga suka mengatai Monacco yang selalu menyambut didepan pintu teras dengan tergeletak lemas.

Setiap harinya, sehabis makan siang dan makan malam, Mama selalu menjadi pengingat untuk memberi makan Monacco yang menunggu diluar pintu belakang.

"Kasih makan kucingmu, Nak. Gara-gara dia, kamu bisa masuk surga."

Mama gak pernah absen mengatakan hal yang sama setiap harinya. Mama bahkan suka ngerebus / ngegoreng ikan yang memang khusus buat kucing itu.

Dulunya, aku sama Affan selalu berantem tentang siapa yang harus kasih makan kucing. Tapi akhirnya tugas itu dilimpahkan kepadaku sepenuhnya. Sehingga memberi makan kucing menjadi rutinitasku sehari-hari setelah makan.

Pernah suatu hari, kami sekeluarga akan berpergian. Raut muka Mama sedih memikirkan bagaimana kucing itu makan kalo gak ada kami.

Sehingga aku bilang, "Ma, kasih aja kucingnya uang jajan, biar beli makanan sendiri."

Mama dan saudara-saudaraku tertawa, sejak saat itulah lelucon kasih uang jajan selalu dilontarkan ketika kami berpergian.

Lambat laun, bukan hanya Monacco yang suka berada di rumahku, kucing lainpun berdatangan.

Aku pun sampai keteteran tiap membuka pintu belakang, 5 kucing mengelilingiku. Ada 1 kucing yang berwarna hitam, dia paling beringas, sejak kedatangannya kucing-kucing yang kalem menjadi berubah, mungkin dia yang memprovokasi.

Gerakan mereka melingkar-lingkar kakiku ketika aku mencoba berjalan meraih wadah makanan mereka, sampai pusing aku dibuatnya.

Darimana mereka datang sih, dulu cuma Monacco, sekarang ada 5 kucing berbeda yang menunggu untuk kuberi makanan. Hitam, coklat, abu-abu, bermacam-macam deh pokoknya. Bahkan Monacco saja jarang ada, mungkin karna dia kalah beringas, atau mungkin karna dia memang lelah karna terlalu tua, kan aku gak tau umurnya.

Aku dan Affan jadi curiga ada konspirasi diantara kucing-kucing ini. Tadi kami berdiskusi bagaimana 5 kucing itu bisa sampai ke rumah kami.

"Monacco ini pasti beritahu ke teman-temannya," kata Affan.

"Enggak, dia cuma beritau ke satu teman," kataku. "Dia bilang ke temannya itu, 'Eh, aku mau kasi tau rahasia. Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa ya.. di rumah itu orangnya suka kasih makanan tiap hari'. Terus temannya itu kasih tau ke temannya, lalu temannya kasih tau ke temannya lagi. Terus begitu sampai jadi 5. Tunggu aja itu, bakalan ada 10 kucing yang datang nanti."

"HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA"

We

01.37

"Mau makan dimana nih?"

"Terserah," jawab salah satu diantara mereka.

"Gresik yuk?"

"Aku udah makan gresik kemarin, yang lain aja..."

Kutipan terakhir itu diucapkan oleh orang yang sama yang menjawab kata "terserah."

Ya, begitulah kira-kira percakapan kami setelah perkuliahan hampir setiap harinya selama tiga tahun. Ribut masalah mau makan dimana udah jadi kebiasaan sehari-hari. 

Mungkin bukan ribut, tapi ribet lebih tepatnya wkwkwk.

Hari ini pun, kejadian seperti diatas terulang lagi. Hingga akhirnya kami menemukan titik temu untuk makan bareng di KFC Drive Thru. Dengan setia kami mengantri untuk memesan makanan, mereka memesan super besar, sementara aku memesan bento -karna sayang, aku makan ayam gak pernah benar-benar habis, yang senang jadinya cuma MJ.

Kami naik ke lantai atas, Fortra datang dengan sepiring penuh dengan saus tomat dan saus sambel yang luar biasa banyaknya, katanya untuk kami semua jadi tinggal ambil saus dari piring tersebut. Dan seperti biasa, kami yang biasanya ribut dan tidak berhenti tertawa tiba-tiba terdiam saat mengunyah makanan.

"Mel, mel," Ega yang berada disebelahku berbisik pelan.

"Hm?" Gumamku sambil tetap mengunyah.

"Tadi, waktu aku sama Adit pindahin meja kesini, anak SMA yang itu ngeliat aku terus," matanya seolah menunjuk kumpulan cewe berseragam SMA yang ada disamping meja kami. Aku pun hanya mengangguk-angguk mengiyakan.

Namun sesaat setelahnya, MJ, orang paling kepo sedunia, langsung menginterupsi. "Kenapa kenapa?"

Aku mengulang perkataan Ega dengan berbisik didekat kupingnya.

"Hah kenapa?"

Aku ulang lagi dengan lebih keras, mungkin suaraku tadi terlalu pelan.

"Apa apa?"

Ya ampun masih gak denger, sebelum aku mengulang perkataanku lagi, meledaklah tawa Maydita, Fortra, dan Ega.

Aduh, ini aku ngetiknya sambil ketawa mengingat kejadian tadi.

Padahal gak penting ya? Gak lucu juga? Tapi kami ketawa sampai seluruh lantai dua KFC itu hanya dipenuhi suara tawa kami disaat ramai-ramainya karna bertepatan dengan waktu makan siang.

Aku pernah membaca sebuah novel yang berceritakan persahabatan antara cewek famous di sekolahnya, yang anak cheers, hobi jalan-jalan ke mall, shopping, dengan seorang cewek berpenampilan tidak menarik, kutu buku, kerjaannya belajar saja di rumah, dan tidak dapat bersosialisasi. Menurutku cerita itu sangat tidak masuk akal, bagaimana mereka berdua bisa bersahabat jika topik yang dibicarakan saja tidak bisa bertemu?

Persahabatan itu tercipta karna kita memiliki kesamaan dengan orang tersebut.

Seperti kami contohnya.

Kami membicarakan topik yang sama, lalu tertawa bersama setelahnya.

Kami pun dapat menyukai makanan yang sama. Saking sukanya terhadap makanan tersebut, selalu itu yang akan dimakan. Lalu setelahnya, kami akan sama-sama bosan karna sudah keseringan.

Hal tersebut pun berlaku untuk barang.

Pernah suatu hari aku membeli satu set pulpen warna-warni dari Prega. Beberapa hari setelahnya, kami berlima sudah memiliki pulpen yang sama. Iya, seperti itu. Dan lucunya, diantara kami gak ada yang marah karna punya barang yang sama (ya mungkin ada marah-marah lucu sih). Malah ketawa aja kalo udah liat kita ternyata punya pulpen, kotak pensil, dan lipstick yang sama.


Aku yakin persahabatan kami terjalin bukan karna sebuah kebetulan, melainkan memang diatur oleh yang diatas. Dan karena itu, tak terhitung rasa syukurku telah dipertemukan dengan orang semacam mereka.

Gak semua orang bisa mengerti kata-kata tersirat, kata-kata yang hanya diucapkan oleh mata, atau kata-kata yang tak diucapkan sama sekali. Namun dengan mereka, aku tak perlu berbicara untuk mengungkapkan segalanya. Dan hal tersebut berlaku sebaliknya.

Gak semua orang juga dapat memahami sifat kita. Aku dan mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan bagaimana kita beradu pendapat lalu bisa saling menerima, itulah makna yang ada dalam persahabatan.

[Sejujurnya, aku itu orangnya geli banget nulis tentang persahabatan gini. Sama kayak gelinya aku kalo nulis tentang cinta-cintaan. But since i'm always the kind of flat face person around, i really want to express my heart about how meaningful they are through this writing. I couldn't help it tough]

Aku gak tinggal serumah sama mereka, aku juga gak ada hubungan darah sama mereka.

Tapi tanpa kehadiran mereka, ruang kuliah yang berisi lebih dari 60 orang, berasa sepi.




Ini masih tahun 2017.

Dan kita masih menjadi mahasiswa pre-klinik.

Cepat atau lambat, nantinya kita akan berlabuh di tempat yang sama dan menyandang gelar yang sama.

Lalu setelah itu, kita akan melanjutkan perjalanan kembali. Entah bagaimana, mungkin lebih banyak yang berbeda. Aku yang berkeinginan mengambil spesialis anak, Ega yang terbesit memiliki keinginan mengambil spesialis patologi anatomi, atau Fortra yang berkeinginan mengambil spesialis kulit.

Tapi tau ga yang dikatakan orang-orang tentang mahasiswa kedokteran?

Long life learner.

Meskipun udah jadi dokter atau dokter spesialis nanti, mereka tidak akan pernah berhenti belajar.

Dan aku harap,

begitu juga persahabatan kita.

Not Only You

04.32

Ada yang menunggu.

Ada yang berdoa setiap malamnya untukmu.

Ada yang berharap kamu menyegerakannya.

Ada yang menginginkan kamu menyelesaikan ini lebih daripada dirimu sendiri.

Ini semua bukan tentang harapanmu saja.

Ini melibatkan angan-angan mereka.

Karna keinginanmu memakai toga tidak lebih besar daripada keinginan mereka untuk melihat kamu menggunakannya.

Adult

04.57

Ketika membaca judul ini, apa yang langsung terlintas didalam benakmu? 

Dewasa, apa sih sebenarnya pengertian dewasa itu?

Menyadari post-postanku di awal blog ini terbentuk hanya meliputi Jonas Brothers atau Justin Bieber, aku pun gak akan menyangka bahwa akan menulis mengenai topik ini. But seriously, what's coming to my mind recently, apa sih definisi dewasa sebenarnya?

Apakah saat kamu bisa mengatur segala keperluan hidupmu sendiri?

Apakah saat kamu tidak tergantung kepada orangtua atau teman-teman untuk menyelesaikan masalah hidupmu?

Ataukah kamu harus menikah dan memiliki anak dulu baru kamu bisa dikatakan dewasa?

Kalau berdasarkan hukum, apabila seseorang menginjak umur 21 tahun, maka dia dikatakan telah dewasa. Namun benarkah? Apakah semua yang telah berumur 21 tahun adalah dewasa?

Hm...

Gak semua orang yang berumur diatas 21 tahun itu dewasa. Jika dikatakan dia telah memasuki "usia dewasa", yes, maka aku setuju. Tapi untuk mengatakan seseorang itu dewasa apa enggak? Kita gak bisa berpatokan pada umur.

Masih banyak orang yang telah berusia dewasa namun pola pikirnya masih seperti anak-anak. Egois, mau menang sendiri, merasa posisinya adalah yang paling menyakitkan. Masih banyak yang seperti itu.

Its subjective actually.

Tapi ketika kamu berbicara sama seseorang, kamu bisa menangkap orang ini sudah dapat masuk ke dalam kategori dewasa atau tidak. Kenapa? Karna saat berbicara, maka pola pikir kita akan terlihat.

Dewasa dalam arti yang sebenarnya adalah kematangan dalam proses berpikir. Bagaimana kamu memandang sebuah masalah, bagaimana kamu menanggapinya, dan bagaimana kamu mengatasinya.

Seseorang yang dewasa gak mungkin jambak-jambakan saat beradu pendapat, jika kamu jumpai orang yang seperti itu, maka dia hanya dikatakan berusia dewasa, bukan dewasa. 

Orang dewasa yang matang proses berpikirnya, pasti akan melihat sebuah masalah secara holistik. Dari banyak sudut pandang. Bahwa A berlaku seperti ini pasti ada penyebabnya, bukan atau hanya karna dia ingin, melainkan terdapat faktor A atau faktor B yang membuat dia berperilaku seperti itu. 

Informasi tidak akan dia telan mentah-mentah, melainkan diteliti secara menelaah. Layaknya sebuah penelitian, kamu akan menduga-duga dengan membuat hipotesa terlebih dahulu, lalu mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, selanjutnya barulah kamu bisa menyimpulkan.

Karna itulah orang yang dewasa juga akan belajar mengatur emosinya ketika menghadapi kondisi yang membuat dia seharusnya emosional. Aku gak bilang bahwa orang dewasa harus bisa mengatur emosinya, karna itu merupakan hal yang sulit, dan jika itu menjadi sebuah keharusan, maka gak akan ada orang yang bisa dikatakan dewasa. 

Belajar, lebih tepatnya. 

Orang yang dewasa akan memiliki keinginan untuk belajar mengontrol emosinya saat berada di tahap menerima informasi dan menduga-duga. Ketika telah mengumpulkan informasi, dan sampai ditahap kesimpulan maka dia akan tau bagaimana cara mengatasi masalah tersebut dengan benar. Ketika dia menemukan fakta bahwa dia harus meluapkan emosinya, barulah dia akan meluapkan emosinya. 

Aku pun gak bisa mengatakan bahwa aku udah dewasa. I'm still 19 years old. Umur dan pengalaman ku masih jauh dari kata itu, namun berada diantara orang yang berusia dewasa, membuatku berpikir.

To The Last

21.39

Berada di penghujung semester pre-klinik ini... membuat aku gak tenang.

It feels like... i can't even find the right words to describe it.

I'm just not ready to face everything in front of me.

I'm afraid. Oh ya allah, i'm sorry for saying this but i'm really afraid. I'm afraid when the day is coming, when the decision is only between me and my patient. 

Its haunted me everytime. 

Sebentar lagi aku skripsian, lalu koas, lalu UKMPPD, lalu sumpah dokter.

But i feel so stupid right now. Aku belajar, tapi rasanya gak pernah cukup. You know that feeling right? Ketika semakin kamu banyak belajar, semakin kamu merasa bodoh.

Sementara waktu akan terus berjalan... tanpa aku sadari. 


Giving It Back

05.14

Jadi ceritanya hari ini aku ke Gramedia. Biasalah, aku kalo lagi capek, bosen, stress, perginya ke Gramedia. It feels so relaxing to see those books dan memilih buku mana yang ingin dibeli meskipun uang yang ada ditangan itu pas-pasan. Dan hari ini, aku juga berniat membeli pulpen mengingat stok pulpen warna warni aku habis -atau lebih tepatnya menghilang entah kemana semenjak dibawa ke tempat KKN. 

Selesai memilih buku dan pulpen yang memakan waktu berjam-jam, akhirnya aku pergi ke kasir untuk membayar. Fyi aku membeli satu buku yang berharga 80 ribuan, tiga pulpen harga 7 ribu, dan satu pulpen harga 20 ribuan. Ketika kasir menyebutkan total dari belanjaanku adalah 96 ribu, gak salah kan kalau aku terkejut?

I mean like, itu harusnya totalnya sekitar 125 ribu tetapi malah menjadi 96 ribu... Setelah aku berpikir bahwa bisa jadi harga itu adalah hasil totalan diskon mengingat aku adalah member Gramedia dan buku yang aku beli juga terbitan Gramedia, aku menutupi keterkejutanku. Oke. Mungkin ini wajar...?

Setelah aku pulang dan berada di mobil, aku perhatikan struk pembayaran baik-baik... Harga untuk pulpen yang seharusnya 20 ribu tadi, malah tertulis angka 0 di struknya. Pfft mbaknya salah masukin harga kali ya? Pantes aja harganya jomplang banget, karna seingat aku diskon buat buku terbitan Gramedia itu cuman 10%. Tapi sayangnya, aku gak sebaik itu untuk balik jauh-jauh ke Gramedia di tengah mepetnya waktu jam kuliah aku hanya untuk menanyakan hal ini ke mbaknya.

Alhasil saat masuk di rumah aku langsung menceritakan ini ke Mama. Aku ketawa. Aku bilang Amel jadi bayar segini, kayaknya gara-gara mbaknya salah deh wkwkwkwk. Candaan aku yang ujungnya menjadi kemarahan Mama. Kata Mama aku harus kembali ke Gramedia dan bilang ke mbak kasirnya tentang itu. Lah, aku bilang ke Mama, kalo ini kan salah mbaknya, bukan salah Amel, ngapain Amel kesana, ini namanya lucky. Mayan 20 ribu dapat takoyaki. 

Tapi Mama berkata bahwa aku gak boleh seperti itu. Dosa, Nak. Kasian mbaknya. Coba bayangin deh, kalo bagi Amel 20 ribu itu mungkin gak ada apa-apa, tapi buat orangnya gimana, Nak? Dia yang harus tanggung jawab kalau ada kesalahan dalam pembayaran di kasir. Bisa aja hari ini dia bakal datang ke Mamanya, lalu dia bilang minta maaf kepada Mamanya, karna hari ini dia gak bisa mengasih makanan ke Mamanya karna harus menutupi kesalahan pembayaran Amel.

Hmm... Ya udah...

Aku juga takut dosa ntar kalo pulpen itu aku pake malah gak jadi lancar mencatat pelajaran cuman gara-gara beginian. Akhirnya abis kuliah siang aku ke Gramedia, ngantri lagi di kasir, nanyain mbaknya.

Terus kata mbaknya, itu meskipun tulisan harga pulpennya disamping 0, tapi udah masuk ke totalannya. Jadi gak ada yang salah.

Mungkin ada sistem harga di Gramedia yang gak aku tau dan mengerti hanya dengan melihat struk ini, tapi paling gak aku udah lega.

Saat aku sudah berbalik dan menuju tangga, mbaknya mengucapkan terima kasih.

Iya mbak, sama-sama.