Book

05.26

(Lets get everything in the place first, in here we're going to talk about romance novels)

I cannot read any high school stories anymore.

There's a lot of novels in Gramedia that i found related to high school stories, well, most of them exactly. 

I've bought some novels about it, i've already read it for 20 pages and then... i stopped.

It's just... ketika membaca, maka logikamu akan bermain kan? Dan logika ku mengatakan, untuk apa sih anak SMA having that romance thingy in their life kalau tau itu gak akan bertahan lama?

When people reads, they're not only going to enjoy the story, but they also expect something. Lalu apa ekspektasimu terhadap anak SMA? They will get married and happily ever after gitu? Well sorry darl, you will face dunia perkuliahan dan dunia pekerjaan which is gak segampang itu untuk mempertahankan sebuah hubungan. 

Rasanya aneh ketika kamu membaca cerita namun kamu sudah tau akhirnya akan bagaimana.

Well, boleh dikatakan memang aku terlambat karna baru membaca romance novels ketika duduk dibangku perkuliahan, dibanding teman-temanku yang sudah membaca novel-novel teenlit semenjak SMP. Dulunya aku gak suka baca novel-novel remaja, paling novel KKPK aja yang aku baca, ya yang lain gak berfaedah aja menurutku, lebih suka baca ensiklopedia dibanding novel (ini serius sumpah). 

Now, talking about novels, I rather read romance stories in 'work-life.' Dia kerja sebagai reporter, editor di suatu majalah, dokter, pegawai bank, di perusahaan asuransi, pengacara, artis, pokoknya yang akan menambah pengetahuanku tentang kehidupan profesi lain. (Hal itu juga berlaku ketika aku memilih drama korea untuk ditonton). Intinya, kalo membaca itu harus ada ilmu baru yang didapat. Kalo cerita romance chessy yang ketemu di sebuah kafe terus karakter ini pekerjaannya tidak jelas, atau cerita anak SMA yang tukang gaduh di kelas suka sama si X, apa yang kamu dapat?

Like seriously, did you really waste your time reading more than hundred pages just to get nothing?

Its just exactly the same with high school stories.

Escape

06.57

Aku gak tau persis mulai sejak kapan aku selalu membanggakan kota ini. Sejak aku tinggal disana selama 14 tahun dan menghabiskan kehidupan masa kecilku, atau semenjak aku pindah ke Samarinda dan mulai membanding-bandingkannya dengan kota Tenggarong.

Tenggarong selalu menjadi escape plan terbaikku ketika mulai lelah. Lelah yang dimaksud disini bukan lelah secara fisik -karna lebih baik aku tidur daripada melalang buana- tapi lelah menghadapi semua tumpukan buku atau berbagai kerumitan pikiran.

Sayangnya, pergi ke Tenggarong itu bagiku tidak semudah pergi dari rumah ke lembus, atau rumah ke big mall, aku gak pernah dibolehin nyetir sendiri ke Tenggarong. Pernah beberapa kali, itupun harus ada Abah disampingku. Padahal, udah berapa tahun aku nyetir tapi kalo ke Tenggarong harus disopirin sama om ku, atau paling tidak, kakak ku.

Jadilah, ketika kakak keduaku pulang dari tempatnya mengenyam pendidikan di Jakarta, adalah sebuah kebahagiaan bagiku karna itu pertanda satu hal; pergi ke Tenggarong :)

Dan akhirnya, kemarin tepatnya hari Sabtu, aku, Mama, dan Kak Dede pergi ke kota itu. Aku bersorak gembira, karna semenjak kedatangan Kak Dede aku menyuarakan ingin makan bakso GLG. Iya, itu bakso terenak se-Tenggarong, atau katakan aku berlebihan, tapi itu yang terenak se-Kalimantan Timur. Mie dan baksonya memang bener-bener buatan sendiri, jadi wah, luar biasa. 

Tempatnya sederhana, tidak seluas yang kalian bayangkan untuk ukuran bakso enak. Tulisan nama GLGnya saja tidak terlalu terlihat, dan bahkan gak ada spanduk bertuliskan "BAKSO TERENAK SE TENGGARONG" didepannya. Memangnya tempat makan yang gembar-gembor menuliskan kata tersebut didepannya bener-bener enak? Aku berani bertaruh, biasa saja. Justru yang tak terlalu bersuara itulah.

Gak heran dari kakak pertama sampai adikku sangat suka, bakso ini sudah ada semenjak kakak pertamaku lahir. Mama ku bercerita bahwa dulu sekitar tahun 90an, dia suka membeli bakso disini sambil bersepeda membawa kakak ku di keranjang depannya. Selama itu kehadiran bakso GLG di Tenggarong. Jangan heran penduduknya sangat cinta. Aku yang dari Samarinda rela mengunjungi Tenggarong hanya demi menikmati bakso ini panas-panas, kak Dede minta dibungkusin ketika Mama akan berkunjung ke Jakarta -yang berakhir sampai di Jakarta dalam kondisi basi, dan kakakku hanya bisa meneguk liur-, dan berbagai cerita lainnya.



Setiap kesini, aku selalu memesan dua mangkuk. Karna jarang ke Tenggarong makanya harus dipuas-puasin, alasan klise hahaha. Mama selalu menjadi yang paling cerewet ketika diakhir aku mengumpulkan pentolan bakso untuk aku potong kecil-kecil dan mencampurnya dengan sambel beserta kecap, aku suka pedas, namun Mama tidak suka melihat aku sakit perut. Tenang Ma, untuk itulah obat Sanmitidin diciptakan.

Pasangan bakso ku pastinya adalah teh panas. Pas untuk melegakan tenggorokan apalagi kalau sedang tidak enak badan. Untuk apa makan bakso panas-panas kalau minumnya es teh? Makan yang panas, lalu minum yang dingin. Gak tercapai tujuan makan bakso itu, maunya cari kehangatan malah tenggorokan dan perut terpapar yang dingin kembali, belum lagi gigi yang jadi bertengkar atas perubahan suhu berkali-kali. Lagian, untuk seorang penyuka pedas sepertiku, lebih cepat hilang rasa pedasnya dengan minum yang hangat ketimbang dingin.

Setelah perut sudah terisi penuh, kami pergi ke rumah keluarga. Tau satu hal yang membuat otak menjadi terefresh? Bertemu dengan anak-anak. Sepupu ku Fia dan Faris, mereka masih balita dan sedang lucu-lucunya. Melihat mereka yang berteriak kegirangan menyambutku dan menunjukan kemampuan-kemampuan barunya, seperti menulis, menggambar, bernyanyi, hapalan al-quran, adalah penghilang bebanku. Ada-ada saja tingkah mereka yang berhasil membuatku gemas.

Lain hal dengan Adya dan Adit, mereka kini beranjak remaja. Tetapi tetap saja mendengarkan cerita Tante Ijah sambil makan pencok mangga mengenai mereka yang hobi membuat slime dan membuat kue, lalu menjualnya ke teman-teman di sekolah adalah hal yang berhasil membuatku tertawa. Bayangkan, anak sekecil itu udah pinter aja berbisnis wkwkwk lumayan jadinya Adit gak pernah dikasih uang jajan lagi karna dia berhasil mendapatkan keuntungan yang melebihi uang jajannya sendiri.

Aslinya, rumah Tante Ijah ini sedang ramai dengan peserta MTQ dari Kukar yang sedang latihan. Dari sini sambil makan pencok, aku dapat mendengar lantunan ayat suci al-Quran yang sangat sangat sangat merdu.



Selepas isha, kami pergi ke tempat terang bulan langgananku. Sebuah kewajiban membeli terang bulan disini ketika ke Tenggarong. Bulenya hapal benar dengan mukaku, jadinya kemarin saat baru saja memesan, sang bule berceletuk, "Lamanya mbak gak kesini." Aku yang mendengar tersenyum, tempat ini memang selalu kudatangi hampir setiap malamnya ketika masih tinggal di Tenggarong. Aku, Affan, dan Abah yang menyopir suka jalan malam-malam hanya untuk membeli terang bulan dan membeli kaset PS2 Affan. Selain itu, keuntungan yang juga sama bagi Abah bahwa di samping belakang rombong ini adalah toko yang lengkapnya melebihi toko perlengkapan.

Awalnya, kami dikagetkan dengan jalan di daerah tersebut ditutup, sehingga kami harus memarkirkan mobil di tempat lain dan berjalan kaki. Entah sejak kapan, namun sekarang banyak food truck yang berjualan di sepanjang jalan itu, penuturan bule, food truck tersebut hanya ada saat malam minggu dan rata-rata mereka semua berasal dari Samarinda. Tau hal yang membuat ku tertawa selanjutnya? Para karyawan food truck itu ternyata membeli terang bulan ini selepas mereka tutup.

Kalau kalian tau martabak manis Holland (disini orang-orang menyebutnya terang bulan) yang harganya sangat fantastis itu, yang kalau memesan ditanya, "Mau yang spesial atau yang biasa mba?" Ya Allah, apa bedanya spesial dan biasa? Menteganya? Saat kumakan rasanya sama saja. Tepung atau dasarnya juga sangat tebal, yang bikin enek dan makan itu cuman 2 potong langsung kenyang.

Disini terang bulannya pas, tebalnya sedang, kejunya meleleh sempurna berkombinasi dengan susu kental yang belum ketemukan tandingannya di Samarinda. Padahal kejunya sama saja dengan terang bulan Holland yang dibangga-banggakan itu, tapi mengapa disini lebih enak ya?




Selesai dengan urusan perut, kami melanjutkan perjalanan menuju masjid al-hijrah yang ada di Tenggarong Seberang. Rencananya hanya ingin menyerahkan sumbangan teh kotak, namun berakhir bertemu bu Asniah, teman Mama yang juga guru Kak Dede sewaktu SD, dan bersilaturahmi ke rumahnya. Jadilah, hingga jam sepuluh malam kami mendengar cerita bu Asniah mengenai perjuangannya sebagai Kepala Sekolah membangun SD yang berada di atas bukit biru hingga terfasilitasi dengan baik seperti sekarang. Yang aku kagumi dari bu Asniah ini, bahwa meskipun umurnya telah menginjak 60an tahun, tidak pernah lelah menimba ilmu dan aktif di organisasi. Hobinya membaca buku, sekarang pun sering mencari informasi melalui internet, bahkan ibu ini ingin melanjutkan pendidikannya di jenjang S2. Salut. Di usia yang kebanyakan orang hanya duduk manis dirumah, ibu Asniah juga menjadi pengurus Penggerak Kesejahteraan Keluarga dan kesana-kemari mengurus pengajian.

Bersama ibu Asniah dan Zia, cucunya.



Banyak hal yang kulepas dan kudapat setelah kunjunganku ke Tenggarong kemarin. Pikiran berkelut setelah ujian yang kulepas. Ilmu dan banyak kebaikan yang kudapat. Aku percaya, semua perjalanan itu memiliki makna, seperti halnya kepergianku ke Tenggarong yang hanya bertujuan untuk makan bakso. Mendengar cerita keluarga, melihat peserta MTQ, bertemu bu Asniah, adalah bonus yang membuat ku merasa bermanfaat lebih dari sekedar mengisi perut.

Tenggarong, kota ini kembali berhasil membuatku merasa lahir kembali.